Senin, 22 Oktober 2012

Berbahagia Menjemput Kematian



Sumber: Kompas, 29 Januari 2010
Judul: Berdamai dengan Kematian
Peresensi:Ali Rif’an
Penulis: Komaruddin Hidayat
Penerbit: Hikmah
Salah satu fenomena yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup adalah datangnya kematian. Menyebut kata kematian seolah membuat orang bergidik merinding. Seakan-akan belum siap, gelisah, takut meninggalkan gegap-gempita dunia ini, dan lain sebagainya. Padahal, siap atau tidak kematian pasti akan datang menghampiri. Di sinilah menjadi tepat kiranya jika Profesor Komaruddin Hidayat mendiskusikan fenomena ihwal kematian.


Secara simplistis, kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian tempo pun terputus. Kematian tidak berarti berhentinya kehidupan, melainkan perpindahan dimensi waktu dan dimensi alam. Secara metafisis hidup dan kematian adalah tahapan-tahapan agar semakin dekat dengan Tuhan. Oleh karenanya, berbahagialah mereka yang bisa melihat, merasakan, dan berpartisipasi dalam kehidupan ini.
Bagi Pak Komaruddin, ada tiga tonggak penting yang selalu menggurita dalam dimensi fundamental manusia. Yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian. Manusia bisa hidup dan menghirup udara saat ini karena adanya peristiwa kelahiran. Sementara pernikahan terjadi berada di tengah antara kelahiran dan kematian. Pernikahan adalah poros hidup manusia guna menjaga kelestarian generasi pelanet bumi. Dalam alam pernikahan, ada mahligai yang harus disemai, dijaga, dipelihara, dan ditumbuhkembangkan. Pernikahan menjadi aras kebahagiaan sebelum menyongsong kebahagiaan yang hakiki.
Adapun kematian memiliki kemiripan dengan kelahiran. Setiap orang mengalaminya namun tak sanggup menceritakannya. Perbedaannya, kelahirann berada di depan sementara kematian berada di belakang. Kelahiran sesuatu yang tengah terjadi, sementara kematian sesuatu yang akan terjadi.
Ibarat sebuah film atau cerita dalam novel, ending menjadi sangat penting untuk dibuat semenarik dan semenggelitik mungkin. Sebab, penilaian sebuah film atau novel terletak pada endingnya. Bahkan tak jarang para novelis memerlukan waktu berbulan-bulan hanya untuk membuat ending dari cerita novelnya.
Begitu juga dengan manusia. Kematianlah sebagai ending penutup cerita hidupnya. Kematian menjadi penting untuk dipelajari dan disiasati dengan harapan ending dari lembar cerita hidup ini menjadi menarik. Sebab, tak jarang manusia lupa akan ending dalam cerita hidupnya. Mereka sibuk menggarap cerita di dalamnya, namun sepi dari memikirkan ending (kematian)nya.
Tak hanya itu, rasa takut dan pesimis dalam menghadapi ending kehidupan (kematian) juga kerapkali mengiring-iringi dan bersemayam dalam lekuk diri manusia.  Di sinilah buku berjudul: Berdamai dengan Kematian; Menjemput Ajal dengan Optimisme karya Komaruddin Hidayat ini menarik untuk dibaca.
Buku ini menyimpan banyak pesan optimistik untuk menjemput kematian. Dengan bahasa yang santun serta lentur, Pak Komar—begitu sapaan akrab guru besar sekaligus rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—ini mendedahkan coleteh segar ihwal kematian dengan memakai sudut pandang al-Qur’an.
Ibarat sebuah sungai, muaranya merupakan merupakan pintu gerbang samudra. Begitu pula dengan kematian, ia adalah muara bagi pintu gerbang samudra kehidupan yang luas dan kekal. Untuk itu, kehadirannya haruslah dinanti dengan rasa senang. Lebih dari itu, kehidupan juga diibaratkan sebuah festival yang entah kapan berakhirnya. Peran apa dan bagaimana manusia memaknai posisi di festival ini, mereka sendiri yang menentukan.
Hanya, manusia sering tenggelam dalam panggung festival. Artinya, kalimat “sesungguhnya apa yang kita cari dankejar dari peran sebagai aktor dalam panggung kehidupan ini” sepertinya jarang disematkan pda diri setiap insane manusia. Padahal, jika disadari bahwa masing-masing aktor hanya memiliki waktu terbatas. Peran yang dimainkan, dan nasib yang diterima berbeda-beda. Dari permainan panggung itu, tak terasa waktu mulai senja. Artinya, festival kehidupan tak akan lama lagi pasti berakhir. Sebab, lorong waktu tak kenal mundur. Setiap waktu mendorong manusia bergerak maju.
Pada titik inilah kematian juga disebut sebagai panglima nasihat dan guru kehidupan. Kematian sebagaimana juga kehidupan adalah anugerah ciptaan Tuhan. Kematian dan kehidupan diciptakan untuk mendorong manusia semakin banyak tabungan amal salehnya. Karena itu, memandang kematian dengan penuh kedamaian dan optimistis adalah sesuatu yang perlu terus dilakukan. Hidup adalah anugerah untuk dirayakan dengan mempererat persaudaraan dan memperbanyak amal kebajikan. Untuk itu, memikirkan kematian adalah suatu hal  yang penting dan layak untuk direkomendasikan setiap insan. Artinya, kematian harus selalu diingat dan dipikirkan. Sebab, sedikit saja ia lengah dari memikirkan kematian, maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya.
Buku setebal 208 halaman ini sangat layak dibaca siapa saja. Ada pesan moral dan spiritual yang begitu dalam dan kental mengiring-iringinya. Dengan membaca buku ini, kita akan diajak untuk sesekali merenung dan sesekali tersenyum.

Jika Orang Jawa Menjadi Teroris




Sumber: Kompas, 12 Juli 2011
Judul Buku: Orang Jawa Jadi Teroris
Peresensi: Ahmad Faozan
Penulis:  M.Bambang Pranowo
Penerbit: Pustaka Alvabet dan Lakip Jakarta
Tahun: Februari 2011
Tebal: 300 halaman
Bagi sebagian masyarakat mempersepsikan orang Jawa adalah orang yang ramah, santun, religius, dan suka mengalah. Karakter orang Jawa, kemudian disimbolkan dalam perwayangan  dengan Pandawa Lima. Yakni, Puntodewo, Werkudoro, Arjuna, Nakula, dan Sadewo. Puntodewo, Nakula, dan Sadewa di artikan sebagai tokoh yang lemah-lembut dan selalu mengalah.
Sedangkan, Arjuna sebagai tokoh yang pandai, baik dalam diplomasi maupun perang. Sedangkan, Werkudoro tokoh yang lurus, pemberani, dan pantang menyerah. Lantas, bagaimana dengan banyaknya orang Jawa yang menjadi teroris apakah masih pantas orang Jawa di simbolkan dengan Pandawa Lima?
Mayoritas penduduk  Jawa Muslim. Islam di sebarluaskan oleh para Walisongo. Seiring dengan isu teroris di dunia mencuat pasca tragedi 11/9 di Amerika banyak kaum radikal kemudian menyebarkan panji-panji Jihad untuk memerangi kaum kafir seperti orang Amerika, Eropa dan negara-negara non Muslim lainnya yang ada jawa. Bangsa Indonesia, khusunya Jawa  di jadikan sebagai tempat dakwah ideologi radikal. Banyak generasi muda orang Jawa di ajak untuk berjihad. Dengan dalih, Jihad suci sesuai perintah Agama dan di jamin akan masuk surga. Akhirnya, banyak orang-orang muda jawa terperangkap yang kemudian menjadi teroris akibat di cekoki ideologi radikal. Seperti, Amrozi, Imam Samudera, Abu Dujana, dan Abu Bakar Baasyir dll.
Terorisme telah menebar kekhawatiran dan ketakutan kepada masyarakat.. Dan, sewaktu-sewaktu ia mampu mengebom dan membuat ancaman secara mengejutkan.  Citra Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi pemeluknya di bungkus dengan kebencian dan makian oleh kaum radikalisme. Misi dakwah kaum radikal yang sukses mendapat pengikut banyak di Jawa. Setelah sukses mengembangkan jaringan di Jawa akhirnya, kini Jawa di jadikan sebagai tempat pengendali aksi gerakan terorisme di Indonesia. Sekalipun, para gembong teroris tersebut kini sudah banyak yang sudah tertembak mati dan tertangkap hidup-hidup namun, masih saja bermunculan wajah-wajah baru pelaku teroris. Ibarat mati satu tumbuh seribu.
Buku bertajuk” Orang jawa menjadi teroris” karya Bambang Pranow berusaha membeberkan mengapa banyak orang Jawa terseret menjadi teroris. Padahal, orang Jawa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi, dan religius tidak mudah di pengaruhi oleh paham-paham lain yang bertentangan. Sebagaimana, Islam dapat masuk ke Jawa melalui akulturasi budaya. Berbeda dengan gerakan Islam radikal yang ada di Jawa mereka berdakwah dengan cara-cara picik dan licik.  Sebagaiman diketahui bahwa “Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi dll di gembleng secara fisik, psikologis, dan ideologis untuk melakukan perang dengan orang kafir yang harus di perangi ”.(Hal 18)
Di tengah kehidupan berbangsa yang semakin kompleks fakto kemisikinan dan ketidakadilan yang di alami umat Islam nampaknya menjadi penyebab mereka teriur untuk ikut menjadi teroris. Dalam konteks inilah, buku ini penting untuk di baca. Buku yang merupakan bunga rampai dari sekumpulan artikel yang tercecer di mana-mana menarik kita baca. Buku ini, menggugah diri kita untuk bagaimana menyelesaikan persoalan terorisme di Indonesia khusunya di Jawa.  Dan, menjadikan inspirasi bagi kita untuk tidak membiarkan gerakan teroris di sekeliling kita.
Pembaca kan kesulitan mencari benang merahnya pada buku ini. Sebab, buku ini terdiri dari kumpulan opini yang beragam pembahasan. Namun begitu, Tidak kalah pentingnya kini adalah kesadaran semua pihak seperti Ulama, Cedekiawan, dan komponen masyarakat untuk ikut berpartispasi mengatasi berkembang biaknya paham terorisme.
Presensi adalah Ahmad Faozan, Santri Pondok Pesantren Tebuireng, kini tinggal di Yogyakarta.