Semua bermula dari saat kulihat Ibu
bersantai lama di teras rumah pada suatu petang. Ini sungguh jarang terjadi,
karena biasanya seusai maghrib, Ibu selalu memilih untuk mematung menyaksikan sinetron
di televisi. Dan uniknya, saat itu Ibu justru berada di bangku panjang rebah di
balik pagar yang tak bercelah. Meski pandangan yang terbatas tak dapat melihat
ke luar, namun tatapan Ibu seperti menembus pembatas hijau milik pagar itu.
“Ada apa dengan Ibu? Tumben!” kata
batinku bertanya.
Penasaran, kutanyai Ibu, dengan
pertanyaan “Sedang apa?” Wajah Ibu saat itu kudapati tampak khusyuk menembus
pembatas pagar. Tentu saja seperti melihat sesuatu yang tak bisa terlihat mata.
Tergagap, Ibu pun menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala. Tapi, ada
seraut ekspresi yang tak bisa kutangkap gerangan apa di wajah Ibu.
Kupandangi seberang rumah yang masih
riuh dengan suara anak-anak kecil menderas bacaan Qur’an. Oh, mungkin Ibu
sedang menikmati celoteh kecil Arsa atau Kiki, anak-anak tetanggaku usia TK
yang memang terkenal kerap berulah lucu jika sedang mengaji.
Kembali ku masuk, namun beberapa
menit kemudian lagi, kudekati Ibu di luar rumah. Ternyata, Ibu tak berada
sedang merebahkan dirinya di kursi panjang itu lagi. Tak ada satu pun orang
yang bisa ku tanya. Namun suara Ibu di seberang rumah, menjadi jawabannya. Ibu
ada di rumah Bu Sam, tetanggaku. Masih juga aku bertanya, sungguh petang yang
tak biasa bagiku ketika melihat Ibu demikian.
Dan jawabannya, akhirnya kudapati
juga di beberapa waktu selanjutnya. Usai dari rumah Bu Sam, wajah Ibu tampak
berseri-seri. Namun tidak semeriah ketika usai mendapatkan arisan. Dalam
setengah berbisik, Ibu berkata lamat-lamat, “Mbak, mulai besok, Ibu mau ngaji
di tempat Bu Sam. Ibu minta ngaji dari awal saja. Nggak pa pa wes kalau dari
alif ba’ ta’. Yang penting bacaannya bener!” kabar gembira itu Ibu sampaikan
padaku.
Sungguh hal yang tak ku kira. Karena
selama ini, sebetulnya aku sedikit kecewa ketika Ibu ku ajak mengaji di rumah
sakit tempatnya kerja, namun Ibu selalu tak mau. Alasannya karena tak dapat
mengikuti kecepatan ritme bacaan para peserta pengajian. Tapi kini, Ibu
berinisiatif untuk belajar mengaji di rumah tetanggaku yang selama ini kerap
membelajari anak-anak kecil membaca Al Qur’an.
Sebetulnya sejak aku kembali dari
Batam usai sekian tahun lamanya meninggalkan rumah, aku cukup senang ketika
bisa membelajari Ibu membaca Qur’an. Waktu itu, Ibu sendiri yang meminta
kepadaku. Seusai maghrib, kami pun menekuni Al Qur’an di pangkuan
masing-masing. Ibu yang membaca dengan bersuara, aku yang menyimak membetulkan.
Waktu itu rasanya menyenangkan sekali. Tak menyangka, ternyata pilihanku untuk
kembali hidup dekat dengan orang tua menjadi alasan Tuhan yang memintaku untuk
membenahi bacaan Qur’an Ibu.
Sayang, kebiasaan itu hanya berjalan
beberapa hari. Aku kerap memilih menekuni lembaran-lembaran target bacaanku
Qur’anku sendiri. Sedang Ibu, menjadi kembali asyik dengan tayangan sinetron di
televisi. Cengkrama bersama kami dengan Qur’an tak berlanjut lagi.
Dan kini, Ibu ingin belajar kembali,
dengan seorang wanita yang memang sangat mengerti bagaimana membaca Qur’an. Di
hari pertama, Ibuku melapor jika ternyata ia tak harus memulai dari Iqra’ jilid
1. Menurut analisa Bu Sam yang disampaikan Ibu padaku, Ibu hanya tinggal
membenahi tajwid dan membaca secara lancar saja.
Sayangnya, ayahku tak begitu
menyepakati apa yang dilakukan Ibu. Menurut Ayah, kenapa Ibu tak belajar di
rumah saja denganku. Mungkin Ayah malu, istrinya masih belajar mengaji dengan
cara mengeja, bahkan kalah dengan anak-anak kecil di sesi usai maghrib yang
telah khatam Qur’an beberapa kali. Terlebih lagi, suara Ibu yang sedang membaca
Qur’an memang terdengar lantang ke sana sini.
Tapi Ibu tak peduli. Bahkan yang
ada, malah makin bersemangat. Menurut Ibu yang masih disalinnya dari perkataan
Bu Sam, sebetulnya ada banyak para tetangga yang juga kurang bisa lancar
membaca Qur’an seperti Ibu.
“Malah, Pak Mu’in itu dulunya yo
nggak bisa lancar baca Qur’an juga kok, Mbak. Tapi karena ditunjuk jadi
pengurus mushola, Pak Mu’in yang waktu itu masih dinas di Surabaya, belajar
sama orang di sana. Lama-lama yo buktinya bisa lancar baca dan sering jadi imam
di mushola,” kata Ibu dengan semangat membela dirinya.
Semangat Ibu memang terbukti.
Kerutinannya mengaji di Bu Sam berbuah seorang teman yang juga berumah sebagai
tetanggaku. Bu Joko, yang biasanya kerap ikut tadarus usai tarawih di mushola
ketika bulan Ramadan, menjadi teman belajar Ibu di Bu Sam setiap usai shalat
Isya’.
Kini hampir sebulan Ibu rutin
mengaji. Suatu ketika, barulah ku tahu apa yang sebenarnya menjadi satu dari
sekian target Ibu untuk belajar membaca Qur’an. “Moga-moga nanti pas bulan
puasa, Ibu bisa ikut tadarus di mushola,” kata Ibu dengan wajah sumringah.
Aku jadi teringat kejadian satu
bulan puasa tahun lalu, yang menjadi saat pertama dalam hidupku mengikuti
tadarus di mushola dekat rumah. Bu Sam memang sempat mengeluh, karena
malam-malam tadarus terutama untuk para wanita, hanya dihidupkan oleh
segelintir orang saja. Paling-paling, hanya aku dan sekitar lima orang remaja
yang menjadi pengisinya. Untuk ibu-ibunya, hanya Bu Sam dan dua orang ibu-ibu
lainnya. Belum lagi ketika masa halangan menjangkiti kami para wanita atau masa-masa
mendekati akhir dari bulan ramadan. Absen ketidakhadiran jadi makin meningkat!
Kata-kata Ibu yang kudengar itu pun
membuatku tersenyum. Yah, semoga malam-malam tadarus nanti ada pertambahan
pasukan yang membuat lantunan Qur’an makin meriah kala beradu dengan
mushola-mushola lain yang ada di lingkungan perumnas kami. Paling tidak, satu
orang yaitu ibuku itulah yang bisa menjadi pasukan barunya!
(Berdasarkan kisah nyata sendiri.
Intinya, yuk kita sama-sama melihat sekeliling atau diri sendiri, makin dekat
ramadan, kira-kira apa ya yang bisa kita persiapkan untuk bulan suci tersebut?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar