Sabtu, 16 Juni 2012

IMPLIKASI HUKUM ZAKAT DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI

          Zakat merupakan istilah yang memiliki makna ”Bersih” dan ”Suci” yang berarti membersihkan harta dan membersihkan diri daripada sifat dengki dan dendam terhadap orang kaya.

          Zakat mempunyai suatu sistem struktural yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendorong perkembangan perekonomian masyarakat pada umumnya. Selain itu konsep zakat mempunyai relevansi dengan sistem ekonomi kerakyatan yang menguntungkan umat Islam dan dapat memberdayakan perekonominnya.
          Sebagai suatu peningkatan kesadaran dan pengamalan tentang zakat bagi masyarakat muslim dan pemerintah Indonesia, pada tahun 1999 dikeluarkanlah Undang-undang Zakat Nomor 38 tentang ”Pengelolaan Zakat” yang disahkan oleh Presiden Habibie. Namun kehadiran Undang-undang Zakat ini, tidak dirasakan oleh masyarakat implikasinya,karena hanya bersifat kesadaran bagi para muzakki dan yang diatur didalamnya adalah amil, untuk melakukan pengelolaan dan pendistribusian zakat.
          Pada dasarnya zakat memiliki fungsi dan potensi yang dapat berperan secara positif-progressif dalam gerakan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Dalam perkembangannya zakat tidak hanya diperuntukkan bagi delapan golongan saja,bahkan di dalamnya terdapat unsur seperti yang tercantum dalam pasal 33, 27 ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945. Adapun secara lebih luas, dana zakat dapat didistribusikan bagi sektor permodalan tanpa bunga dalam berbagai usaha-usaha ekonomi produktif dan juga zakat dapat dikembangkan dan dikelola secara professional.
          Maka zakat akan menjadi penopang utama bagi gerakan ekonomi kerakyatan, baik dalam bentuk koperasi, industri rumah tangga, atau usaha kecil menengah. Disamping itu zakat dapat diandalkan sebagai penunjang dana dan mitra pemerintah, yang saat ini sedang menggalakan berbagai macam upaya ekonomi, yang berbasis pada ekonomi kerakyatan, seperti dengan mendirikan Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Usaha Kecil-Menengah (KUKM), Tabungan Kesejahteraan Keluarga (Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra). Selain itu Zakat sebagai penunjang perkembangan pertumbuhan bagi peranan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Bait a1-Mal-wa Tamwil (BMT) dan Bank Muamalat Indonesia sebagai mitra usaha kelas kecil menengah, yang ditujukan bagi perbaikan ekonomi masyarakat bawah dan lemah, maka zakatpun dapat didayagunakan untuk sektor tersebut, baik dikelola langsung oleh Bazis, ataupun oleh lembaga-lembaga keuangan di atas.
          Disamping itu dana zakat sekaligus juga dapat digunakan untuk memperkuat pemodalan bagi lembaga-lembaga keuangan yang berkonsentrasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat kelas bawah, dimana mayoritas mereka beragama Islam. Hal tersebut juga didukung dengan kenyataan bahwa golongan fakir miskin merupakan prioritas utama dalam hal pembagian zakat .
          Kemudian jatah fakir miskin dapat didayagunakan dan dikembangkan ke segala usaha dalam multi bidang yang dapat memenuhi kebutuhan kemanusiaannya secara utuh, baik lahiriah maupun batiniah, guna rnenyelamatkan dari jerat ketidakcukupan dan mengangkat harkat serta martabat kemanusiaannya.
          Mengacu pada kondisi seperti yang diuraikan di atas, zakat dengan segala potensi daya guna dan kelebihan yang terkandung di dalamnya, kiranya dapat dikatakan memiliki relevansi yang korelatif bagi pengembangan ekonomi kerakyatan di Indonesia.
          Zakat sebagai doktrin ibadah mahdhah bagi umat Islam bersifat wajib, mengandung doktrin sosial ekonomi Islam yang merupakan antitesa terhadap sistem ekonomi riba.
          Dapat dilihat dari ayat-ayat Al-Quran yang secara tegas memerintahkan penegakkan zakat dan menjauh pengamalan-pengamalan riba. Pada QS. Al-Baqarah ayat 274, Allah menegaskan keutamaan infaq (zakat) dan membelanjakan harta di jalan yang benar, dan buruknya sistem riba. Pada ayat 275, diterangkan tentang penegasan Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba, pada ayat 276, Allah menyatakan akan melenyapkan berkahnya riba dan menyuburkan berkahnya shadaqah (zakat). Pada ayat 277 dan surat al-baqarah Allah menegaskan bahwa zakat adalah solusi bagi ummat Islam (yang beriman) dan kehidupan yang penuh ketakutan dan kesusahan. Sistem zakat sebagai suatu sistem ekonomi dalam Islam telah dipraktekkan dan dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW dan pemerintahan Khulafa al-Rasidin.
          Seperti diakui oleh para cendikiawan muslim, baik berskala nasional, dan internasional, bahwa selain ketentuan ibadah murni, zakat juga merupakan kewajiban sosial berbentuk tolong menolong antara orang kaya dan orang miskin, untuk menciptakan keseimbangan sosial (equalebre socialle) dan keseimbangan ekonomi (equalebre econoinique). Sekaligus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan, menciptakan keamanan dan ketentraman
          Konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan dan golongan kaya kepada kelompok fakir dan miskin perlu mendapat intervensi pemerintah, karena ibadah zakat bersifat materil, cukup berat dilaksanakan, dan fakir miskin (golongan dhuafa) sebagai target utama pendistribusian zakat dapat dipenuhi. Mereka mayoritas rakyat, pemilik hakiki negara dan kedaulatannya.
          Hal ini perlu ditekankan, agar pemerataan ekonomi dan pembangunan dapat terealisir secara nyata,untuk lebih terarahnya pendistribusian zakat yang bertujuan pemerataan ekonomi dan pembangunan, perlu ditopang dengan suatu badan pengelola zakat yang modern dan profesional.
Merealisasikan pertanian sebagai kunci kesejahtraan rakyat dan kejayaan Negara di Indonesia, semestinya pertanian tidak hanya sebagai sektor, tapi yang ditunjang oleh semua sektor dan menjadi landasan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
          Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya pemerataan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, dengan meningkatnya daya beli masyarakat, dan beredarnya harta kekayaan secara berkeadilan. Pada akhirnya tercipta stabilitas sosial ekonomi, pembangunan nasional mencapai hasil maksimal yang dampaknya akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ø      Undang-undang Zakat pada dasarnya berisi beberapa hal yang ingin direalisasikan. Pertama, tentang perlu adanya badan amil zakat yang harus dibentuk pemerintah pada tingkat wilayah dan daerah sampai ke tingkat kelurahan, disamping lembaga yang dibentuk oleh yayasan atau badan swasta. Kedua, tentang pengumpulan zakat dapat dilakukan oleh badan amil dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuannya, dan badan amil dapat bekerjasama dengan pihak bank. Undang-undang ini juga menjelaskan bahwa penghitungan harta, muzakki dapat meminta batuan pada badan amil. Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, pasal 11, 12, dan 14.
Ø      Zakat mengandung unsur kesejahteraan bersama, seperti yang tercantum dalam pasal 33, 27 ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945. Bahkan secara lebih luas, dana zakat dapat didistribusikan bagi sektor permodalan tanpa bunga dalam berbagai usaha-usaha ekonomi produktif.
Bunyi pasal 33 adalah: Ayat 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; Ayat 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Ayat 3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 27 ayat. (2) berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Adapun pasal 34 berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara

Sumber :
Ekonomi Kerakyatan dan Daya Dukungan Hukum, dalam Republika, edisi 12 November 1998
Konsep Pengembangan Ekonomi Ummat di Indonesia, dalam Adi Sasono et.al., Solusi Atas Problematika Ummat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 75-77.
Syechul Hadi Permono. Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasiona,l (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar