Sabtu, 16 Juni 2012

Krisis Kedelai dalam Hubungannya dengan Hukum Internasional yang Berlaku


          Beberapa bulan lalu isu mengenai krisis kedelai menjadi perbincangan yang tidak ada habisnya,bahkan hampir setiap stasiun televisi dalam acara berita menayangkan kondisi krisis kedelai ini yang akan menghambat perekonomian yang memakai bahan baku kedelai ini.

          Hukum internasional tidak lagi menjadi urusan para diplomat saja namun harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Berbagai pengaturan internasional ternyata berdampak langsung bagi kerugian petani kedelai dan produsen tahu-tempe di Indonesia.

          Salah satu penyebab dasar krisis kedelai ini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap kedelai impor. Ketika harga kedelai di pasar komoditi dunia naik, Pemerintah Indonesia tidak kuasa menahan kenaikan harga kedelai di dalam negeri .Ketergantungan yang berlebihan terhadap produk impor ini sudah disadari Pemerintah membahayakan ketahanan pangan.

Ketidakadilan Perjanjian Pertanian WTO

          Sistem perdagangan yang diatur dalam Perjanjian Pertanian WTO dikritik oleh banyak pihak sebagai suatu ketidakadilan global (global injustice) yang hanya mementingkan kepentingan negara maju, termasuk pada sektor pertanian.

          Perjanjian Pertanian WTO yang merupakan pondasi berlakunya liberalisasi pertanian sebenarnya memiliki tiga pilar utama: akses pasar (market access), dukungan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy).

          Namun demikian, konsep liberalisasi ini hanya terfokus pada pilar pembukaan akses pasar yang menyebabkan kemudahan impor dan tarif bea masuk yang sangat murah. Hal ini yang kemudian memicu serbuan impor dan penurunan harga impor dari negara maju.Sementara itu, pilar subsidi ekspor dan dukungan domestik diabaikan.

          Selain itu, perlakuan khusus (special and differential treatment) yang diperoleh negara berkembang ternyata dianggap tidak efektif dan kurang fleksibel (Apriantono: 2007, 454). Ekspor produk pertanian dari negara berkembang pun masih terbentur perjanjian WTO lainnya yaitu mengenai sanitary dan phytosanitary (SPS) yang mengatur standar kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Standar internasional demikian tentu sangat sulit dipenuhi oleh petani dari negara berkembang.

          Hasilnya, pasar pertanian negara maju relatif masih tertutup dari eskpor negara berkembang. Di sisi lain, negara maju sangat menikmati liberalisasi pertanian dengan terbukanya pasar negara berkembang.

Ketidakadilan ini memicu diluncurkannya Putaran Pembangunan Doha tahun 2001 sebagai komitmen bersama negara maju dan negara berkembang untuk menjadikan perdagangan sebagai kunci dari pembangunan dan kesejahteraan


Reformasi Hukum Pertanian Internasional


          Pengurangan subsidi negara maju menjadi fokus dari proposal amandemen Perjanjian Pertanian. Indonesia sendiri menjadi motor dari kelompok G-33 yang memperjuangkan gagasan baru mengenai perlakuan khusus bagi negara berkembang.

          Gagasan tersebut tertuang ke dalam konsep Special Products (SP) yang menginginkan agar sejumlah produk pertanian memperoleh fleksibilitas penurunan tarif, dan Special Safeguard Mechanism (SSM) sebagai perlindungan sementara dari ancaman serbuan impor dan penurunan harga impor.

Tantangan Indonesia

          Dengan semakin terkaitnya aktivitas ekonomi, hukum internasional harus menjadi aspek yang tidak boleh terlupakan dalam upaya untuk membangun pertanian Indonesia yang bertujuan untuk memacu pembangunan dan menciptakan kesejahteraan.

          Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi diplomasi Indonesia dalam membentuk hukum yang berorientasi keadilan global. Namun demikian, penguatan kapasitas domestik harus menjadi fokus yang utama karena tanpanya, Indonesia tidak mungkin memiliki sesuatu untuk diperjuangkan pada fora internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar